Firstindonesiamagz.id – Direktur Center of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira menyebut Indonesia akan menghadapi ancaman gugatan dari Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) sesudah mengeluarkan keputusan untuk melarang ekspor produk crude palm oil (CPO).
Pemerintah Indonesia dianggap menjadi pelopor yang menimbulkan harga acuan CPO yang bergelora di pasar global.
“Kemudian eksportir harus siap-siap menghadapi penalti karena dianggap tidak bisa menghadapi kontrak penjualan ekspor,” tutur Bhima saat dihubungi pada Rabu malam, 27 April 2022.
Sebelumnya Pemerintah sempat menyatakan ekspansi komoditas yang berbuntut larangan bahan baku minyak goreng.
Kemudian pemerintah melarang ekspor untuk semua produk crude palm oil (CPO), RBD oil, RBD palm olein, dan used cooking oil.
Kendati demikian, aturan tersebut mulai diberlakukan pada pukul 00.00 WIB pada Kamis, 28 April 2022. Produk CPO akan dimaksimalkan untuk kebutuhan dalam negeri hingga harga minyak goreng curah balik ke harga eceran tertinggi (HET) yakni Rp14.000.
Menurut Bhima, sebelum larangan ekspor CPO dipublikasikan, harga acuan di tingkat global tengah bergelora. Di bursa Malaysia, misalnya, harga acuan CPO menyentuh angka 6.980 ringgit per ton atau naik 9,06 persen per Rabu malam, dilansir dari Tempo.co.
Bhima menuturkan larangan ekspor CPO akan memiliki kesempatan menekan nilai tukar rupiah hingga Rp 15 ribu per dolar Amerika.
Buntut lainnya, Indonesia akan kehilangan mitra dagang sawitnya. Lantaran, negara-negara tujuan ekspor akan mencari mitra dagang dari negara lain.
Selain itu, Bhima juga mengungkapkan inkonsistensi pemerintah dalam mengeluarkan aturan ekspor bahan baku kelapa sawit juga akan menyebabkan kendala bagi semua lapisan.
“Ketidakpastian yang tentunya akan menurunkan wibawa pemerintah sebagai pengambil kebijakan strategis di mata pelaku usaha di sektor pengolahan sawit dan perkebunan,” imbuhnya.