Sri Susuhunan Pakubuwono XIII Wafat, Penjaga Harmoni Keraton Surakarta Tutup Usia
Sri Susuhunan Pakubuwono XIII Wafat, Penjaga Harmoni Keraton Surakarta Tutup Usia

FirstIndonesiaMagz.id– Duka menyelimuti Keraton Kasunanan Surakarta Hadiningrat. Raja Keraton Surakarta, Sri Susuhunan Pakubuwono XIII, wafat pada Minggu (2/11) pagi di usia 77 tahun. Almarhum meninggal dunia setelah menjalani perawatan intensif di rumah sakit sejak 20 September lalu.

Lahir di Kota Solo, 28 Juni 1948, dengan nama Kanjeng Gusti Pangeran Haryo (KGPH) Hangabehi, beliau tumbuh di lingkungan yang sarat tata nilai ningrat dan budaya Jawa. Sebagai putra sulung Pakubuwono XII, sejak kecil ia telah akrab dengan kehidupan keraton—tempat di mana adat, spiritualitas, dan tradisi berpadu dalam keseharian.

Namun, perjalanan menuju takhta yang seolah telah digariskan baginya bukan tanpa ujian. Wafatnya Pakubuwono XII pada 11 Juni 2004 memunculkan badai suksesi di tubuh Kasunanan Surakarta. Dengan enam istri dan 35 anak, almarhum meninggalkan garis keturunan yang luas dan kompleks. Dua nama mencuat sebagai calon penerus, KGPH Hangabehi dan adiknya, KGPH Tedjowulan.

Pada 10 Juli 2004, Forum Komunikasi Putra Putri (FKPP) PB XII menetapkan Hangabehi sebagai penerus sah takhta, dengan rencana penobatan pada 10 September 2004. Namun tak lama berselang, kubu lain menobatkan Tedjowulan sebagai raja pada 31 Agustus 2004 di Sasana Pumama, Solo.

Perselisihan itu berujung pada ketegangan di kompleks keraton, bahkan sempat terjadi bentrok pada awal September 2004. Untuk pertama kalinya dalam sejarah panjang Kasunanan, dinding istana yang menjadi simbol ketenangan menyaksikan perpecahan antar darah biru.

Meski demikian, Hangabehi tetap melanjutkan penobatan pada 10 September 2004 di Bangsal Manguntur Tangkil, Sitihinggil Lor. Upacara berlangsung khidmat, dihadiri keluarga besar PB XII dan para bangsawan. Dukungan tiga sesepuh keraton mempertegas keabsahan dirinya sebagai Sri Susuhunan Pakubuwono XIII.

Masa pemerintahannya diwarnai tantangan berat. PB XIII mewarisi keraton yang terbelah dan harus berjuang memulihkan martabat istana di tengah sorotan publik. Meski demikian, ia konsisten menjaga misi utama, melestarikan budaya dan tradisi Jawa.

Upacara adat, pembinaan abdi dalem, dan pementasan seni klasik terus digelar di bawah kepemimpinannya. Salah satu momen bersejarah terjadi pada Juli 2009, ketika digelar upacara jumenengan menandai masa pemerintahannya. Tarian sakral Bedhaya Ketawang—yang hanya dipentaskan bagi raja yang berdaulat—kembali tampil, menandai kebangkitan wibawa keraton.

Menariknya, dalam upacara itu, Tedjowulan turut hadir. Kehadirannya menjadi isyarat awal menuju perdamaian, yang akhirnya terwujud pada 2012. Melalui mediasi DPR RI, Pemerintah Kota Solo di bawah kepemimpinan Joko Widodo, serta keluarga besar keraton, kedua pihak sepakat mengakhiri dualisme. Tedjowulan mengakui Hangabehi sebagai PB XIII yang sah, menerima gelar KGP Haryo Panembahan Agung, serta dipercaya menjabat Mahapatih.

Kesepakatan itu menjadi titik balik kebangkitan Kasunanan Surakarta. Di bawah kepemimpinan PB XIII, keraton kembali tegak sebagai pusat kebudayaan Jawa. Ia dikenal sebagai sosok yang sederhana, penuh welas asih, dan mampu merangkul berbagai pihak.

Dua dekade kepemimpinan PB XIII dikenang sebagai masa penyembuhan bagi keraton yang sempat terbelah. Ia tidak hanya membangun kembali struktur kelembagaan keraton, tetapi juga menghidupkan kembali semangat “ngayomi” — melindungi, menyatukan, dan menebarkan keteduhan.

Bagi masyarakat Solo dan trah Mataram, wafatnya Sri Susuhunan Pakubuwono XIII bukan sekadar kehilangan seorang raja, melainkan juga hilangnya sosok penjaga harmoni budaya Jawa.

Lebih dari warisan fisik berupa istana dan adat, PB XIII meninggalkan teladan luhur bahwa kekuasaan sejati terletak pada kemampuan menjaga martabat, kedamaian, dan kebersamaan di tengah perubahan zaman.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here