Sumber: rilis

FirstIndonesiaMagz.id– Podcast Kopi PM merupakan podcast yang diorganisir oleh mahasiswa Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Mpu Tantular Jakarta. Pada Selasa (20/12/2022), Podcast ini dihadiri oleh narasumber istimewa yakni Koordinator Komunikasi Publik, Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Dyah Rachmawati Sugiyanto, C.PR atau lebih sering dipanggil dengan ibu Dyah.

Pembahasan dalam podcast tersebut sangatlah menarik untuk disimak, sebab penuh dengan informasi dan edukasi yang sangat bermanfaat. Dengan mengangkat tema “Aktivitas Media Humas” yang dalam hal ini lebih berfokus mengenai substansi humas di BRIN sendiri, maka dipandu oleh Dosen Ilmu Komunikasi Universitas Mpu Tantular Jakarta, ibu Selvi Sofiawati S.I.Kom, M.I.Kom bersama mahasiswanya, Naeli Zakiyah Nazah sebagai hostnya, podcast Kopi PM ini digelar dengan apik.

Dalam podcast tersebut, Ibu Dyah mengawali dengan menyampaikan terkait BRIN sendiri. BRIN merupakan lembaga pemerintah yang bertugas melakukan monitoring, pengendalian dan evaluasi terhadap pelaksanaan tugas dan fungsi Badan Riset dan Inovasi Daerah (BRIDA) sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Kemudian, berdasarkan Perpres No. 78/2021 tentang BRIN yang ditandatangani oleh Presiden Jokowi Widodo pada 24 Agustus 2021, pada pasal 3 BRIN mempunyai tugas membantu Presiden dalam menyelenggarakan tugas pemerintahan di bidang penelitian, pengembangan, pengkajian dan penerapan, invensi dan juga inovasi, penyelenggaraan ketenaganukliran serta penyelenggaraan keantariksaan secara nasional yang terintegrasi.

Dengan adanya Perpres No. 78/2021, semua badan penelitian nasional Indonesia, seperti Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT), Badan Tenaga Nuklir Nasional (BATAN), dan Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (LAPAN) bergabung menjadi BRIN.

“BRIN sendiri kan baru terbentuknya belum lama, baru satu tahun lebih berapa bulan. Dibentuk 28 April 2021 Perpres No. 78 akhirnya disahkan ditandai dengan dilantiknya kepala BRIN yang pertama. BRIN juga hasil dari integrasi dari banyak entitas. Kami sebut nya itu ada lima lembaga ( LIPI, BPPT, BATAN, LAPAN, dan Kemenristek/BRIN),” kata dia.

Dia juga menyebutkan bagi para peneliti yang dulunya berada di Kementerian dan Lembaga terkait, mereka diberikan pilihan untuk tetap berada di lembaganya atau bergabung bersama BRIN.

“Tapi (para peneliti itu) harus berubah fungsional sebab apabila tidak berubah fungsionalnya, misalnya saja peneliti tidak mau bergabung di BRIN, maunya tetap di Kementerian yang sebelumnya. Berarti dia harus diganti fungsional bukan lagi peneliti tapi mungkin analis kebijakan atau lainnya.” tutur dia.

Lebih lanjut, dia mengungkapkan mengapa BRIN melebur lima lembaga atau entitas yang disebutkan di atas menjadi satu yakni menjadi BRIN saja. Hal itu karena untuk efisiensi anggaran.

“Kenapa menjadi dipersempit?, karena efisiensi anggaran. Jadi pemikirannya adalah kalau terlalu banyak strukturnya terlalu lebar, itu pasti anggaran yang dibutuhkan akan semakin banyak,” ucap dia.

Dia juga mengatakan BRIN telah menetapkan 12 Organisasi Riset (OR) dan 85 Pusat Riset sebagai integrasi tugas dan fungsi litbang dari 919 unit riset di 74 Kementerian/Lembaga termasuk lima entitas tersebut.

“Ada Penerbangan dan Antariksa, Tenaga Nuklir, Pertanian dan Pangan, Kesehatan, Hayati dan Lingkungan terus ada Ilmu Pengetahuan Sosial dan Humaniora, Arkeologi, Bahasa dan Sastra, lalu ada Tata Kelola Pemerintahan, Ekonomi dan Kesejahteraan Masyarakat, Energi dan Manufaktur. Kemudian ada Nanoteknologi dan Material, Elektronika dan Informatika, dan Kebumian dan Maritim. Di dalam 12 OR itu masing-masing ada Pusat Riset,” kata dia.

BRIN juga sudah sejak lama menginformasikan terkait aktivitas BRIN, baik melalui laman resminya maupun melalui media massa. Karena sebagai lembaga pemerintahan, BRIN tentu berhubungan baik dengan media massa.

“Media massa itu semua harus jadi sahabat, kami tidak membeda-bedakan,” terang dia.
Mantan Koordinator Media Relations Community Preparedness ini juga mengatakan, selain ada komunikasi kehumasan, terdapat pula komunikasi sains. Komunikasi sains ini adalah komunikasi yang ada di BRIN.

“Komunikasi sains itu memang mungkin belum sepopuler komunikasi jenis mutasi lainnya. Ini memang belum lama lah ditahun 90-an atau 95 baru mulai berkembang di Indonesia. Sebenarnya ini sudah lama dan cikal bakal komunikasi sains itu adalah ketika pertama kali ilmuwan Inggris menulis jurnal dan dipublikasikan. Jadi itu disinyalir sebagai suatu gejala fenomena munculnya ilmu baru,” kata dia.

Terlepas dari semua itu, dia menyebutkan sebagai Koordinator Komunikasi Publik BRIN yang ruang lingkupnya tidak jauh dari kehumasan, tentu pernah mengalami krisis namun mampu diselesaikan dengan baik dengan bekerjasama dan tak luput juga dari dukungan atasan. Karena yang seperti kita ketahui BRIN sudah melebur bersama lembaga-lembaga yang disebutkan diatas, maka tidak menutup kemungkinan terjadinya krisis.

“Krisisnya di BRIN karena baru banyak. Lima budaya menjadi satu, kita harus beradaptasi. Dari awal terbentuk sudah bermacam-macam krisisnya, tapi karena lembaga sudah satu frame. Jadi sudah tahu lembaga ini mau kemana, menjadi apa, dan apa tugas dan fungsinya. Paling tidak secara umum kita tahu tujuannya mau kemana, kita mampu selesaikan jadi fine lah tidak aada masalah. Itu juga tak lepas dari dukungan pimpinan karena tidak semua posisi humas itu mendapatkan posisi yang stategis terlebih di daerah,” ujar dia.

Di sisi lain, dia juga menerangkan ada pula strategi-strategi humas yang telah dia lakukan di BRIN. Seorang praktisi Humas sendiri memang harus paham betul akan strategi apa yang harus diterapkan. Dalam hal ini ibu Dyah yang merupakan Koordinator Komunikasi Publik BRIN membuat skema dengan rumusan.

“Kita bikin ada skemanya, tetapi rumusannya kurang lebih ada narasi utamanya. BRIN ini tentang membangun ekosistem berbasis blue green. Digital blue green economy dari narasi besar, kita turunkan jadi strateginya sampai dengan chanelnya apa, segmennya siapa. kemudian programnya itu apa saja, itu detail sekali saya buatkan tablenya, saya buatkan mappingnya. Jadi kita kalau misalnya saya sudah tidak di BRIN lagi, misalnya teman-teman mau pakai itu dapat menjadi panduan, jadi pedoman. Mereka bisa liat di table saya,” jelas dia.

Selain itu, dia melanjutkan bagi para mahasiswa jurusan Ilmu Komunikasi khususnya kehumasan, penting untuk menguasai skill menulis begitu pula kemampuan public speaking. Pasalnya selain menulis, dengan public speaking tentu kita dapat menyampaikan gagasan, ide, informasi atau hal lainnya dengan baik.

“Kompetensi utama itu adalah menulis. semua pekerjaan humas yang berkaitan dengan tulis menulis. Karena tidak semua humas itu mesti ada di depan layar. Kita justru membutuhkan orang yang di belakang layar, misalnya analisis, konseptor, dan lainnya” kata dia.

“Harapannya sebagai mahasiswa lulusan ilmu komunikasi jurusan humas sudah tau bagaimana strategic planing dan manajemen isu,” imbuh dia.

Terakhir perlu diketahui, mantan Fasilitator dan Tim Penyusun Buku Media sebagai Rantai Peringatan Dini Bencana ini, ternyata memiliki sejumlah pengalaman yang mentereng.

Dibuktikan sejak 2005 dia telah bergabung di LIPI, 2006 menjadi Pranata Humas Terampil, 2018 menjadi Pranata Humas Ahli Madya, 2019 bergabung kembali di LIPI menjadi Public Relations Manager di area Jakarta, 2019 menjadi Kepala Bagian Humas dan Informasi Publik LIPI, 2020 menjadi Koordinator Humas dan Protokol LIPI serta 2021 menjadi Koordinator Komunikasi Publik BRIN.

(nz)

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here