FirstIndonesiaMagz.id-Perubahan iklim menjadi hal yang krusial dan harus segera diatasi. Lantaran perubahan iklim dapat merugikan keuangan negara sampai triliunan rupiah.
Hal itu disampaikan Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati yang mengatakan bahwa perubahan iklim akan menimbulkan kerugian hingga 3,45 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB) pada 2030.
Sri Mulyani menyampaikan bahwa saat ini 80 persen bencana alam berkaitan dengan hidrometeorologi. Sehingga jika perubahan iklim terus dibiarkan saja, akan berakibat pada ekonomi nasional.
“Kerugian ekonomi yang diperkirakan nilainya bisa mencapai 0,66 persen hingga 3,45 persen dari PDB pada tahun 2030,” ujar Sri Mulyani, dikutip dari Kontan.co.id, Rabu (12/7).
Sri Mulyani juga memperkirakan, PDB Indonesia saat ini sekitar Rp 20.000 triliun dengan asumsi pertumbuhan ekonomi yang tetap terjaga di 5 persen, atau akan dikerek ke 6 persen hingga 7 persen.
Kemudian, besaran PDB Indonesia akan menyentuh angka dua kali lipat nantinya pada tujuh tahun ke depan. “Sekarang sudah 2023, dua kali lipat, katakanlah Rp 40.000 triliun. You can multiply 3,45 persen dari GDP itu berapa, itu adalah kerugian (akibat perubahan iklim). Jadi pasti kita akan menghadapi potensial damage dan loss yang sangat signifikan,” ucap Sri Mulyani.
Karena itulah, Sri Mulyani menekankan usaha Indonesia untuk mengatasi perubahan iklim bukan lantaran ingin ikut-ikutan internasional, melainkan sebagai upaya pertahanan pasalnya Indonesia bakal terkena dampaknya juga. Sejauh ini Indonesia sudah berkomitmen untuk menimalisir emisi karbon dalam bentuk Nasional Determined Contribution, berkontribusi secara global mengurangi emisi CO2 dengan target target pengurangan 29 persen dan ditingkatkan menjadi 31,89 persen.
“Kalau mendapatkan dukungan internasional kita bahkan berambisi menurunkan emisi global 41 persen dan bahkan di tingkatkan menjadi 43,2 persen,” tambahnya.
Lebih lanjut, Sri Mulyani menyampaikan kebutuhan biaya untuk mengatasi perubahan iklim bukan dari Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN) saja, dikatakan Sri Mulyani, peranan private sector dan masyarakat juga turut berperan untuk mengatasinya.
“Kita tahu bahwa tidak mungkin kebutuhan biaya untuk bisa menciptakan dan men-deliver tekad kita untuk mengurangi CO2 berasal dari APBN saja. APBN mungkin kontribusinya bahkan bisa hanya sekitar 10 persen, no more than even 20 persen, bahkan mungkin hanya 10 persen, namun APBN bisa memberikan leverage melalui berbagai insentif,” ucapnya, seperti yang dimuat dalam laman kompas.com.
Selain itu, upaya pemberian insentif dalam pembiayaan inovatif dilakukan untuk menarik minat para investor dari private sector untuk membiayai proyek-proyek industri hijau di Indonesia.
Dengan demikian, Indonesia pun dapat mendirikan sesuatu yang inovatif dan ramah lingkungan, contohnya saja pembangkit listrik yang renewable, pembangkit ini menggunakan listrik yang lebih hemat dan ramah lingkungan sampai ke tingkat rumah tangga.
Di samping itu, beberapa instrumen diberikan pemerintah dalam rangka menangani perubahan iklim meliputi tax holiday, tax allowance, pembebasan Pajak Pertambahan Nilai (PPN), bea masuk, dan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB).
Lebih lanjut, instrumen keuangan yang disediakan pemerintah mencakup green bond, green sukuk bond, dan instrumen dalam bentuk institusi seperti special mission vehicle, yaitu PT Indonesia Infrastructure Finance (IFF) dan PT Sarana Multi Infrastruktur (SMI) yang dimiliki Kementerian Keuangan.
Terkahir bukan hanya instrumen keuangan, ada pula Sustainable Development Goals (SDGs) Bond.
SDGs Bond adalah platform untuk bekerjasama dari sisi keuangan antar seluruh komponen yang berpotensi memberikan pembiayaan dari sisi perubahan iklim maupun Sustainable Development Goals (SDGs).
Platform SDGs Bond dapat melibatkan private sector, bilateral, dan multilateral. Sektor-sektor tersebut dapat berasal antara lain dari Swedish International Development Cooperation Agency (Sida), United States Agency for International Development (USAID), Australian Agency For International Development, Asian Development Bank, Asian Investment Bank, hingga World Bank.
“(Pembiayaan untuk mengatasi perubahan iklim juga dapat berasal) dari sisi private financing melalui issuance bond dan filantropi. Di global circle, kalau kita bicara tentang climate change, filantropi-filantropi besar seperti Jeff Bezos (Amazon), atau Bloomberg, atau Bill Gates, Rockefeller, mereka semuanya memainkan peran yang cukup signifikan sebagai katalis, sebagai event organizer, menyediakan platform, dan juga dari sisi financing,” ucap Sri Mulyani.
Kemudian bila ditinjau dari sisi kebijakan, pemerintah sendiri akan mengembangkan regulasi dan instrumen untuk menjawab tantangan perubahan iklim.
Sementara dari sisi legislasi, pemerintah dinyatakan telah memiliki instrumen seperti carbon tax yang dilakukan khusus untuk pembangkit listrik dan bahan baku batu bara, khususnya untuk pembangkit listrik berbasis coal base.