FirstIndonesiaMagz.id– Pengadilan Kriminal Internasional (International Criminal Court/ICC) membuat langkah mengejutkan. Secara resmi, lembaga tersebut mengeluarkan surat perintah penangkapan untuk Perdana Menteri (PM) Israel Benjamin Netanyahu terkait perang di Gaza, Palestina.
Ia disebut telah melakukan “kejahatan perang” dan “kejahatan kemanusiaan”. Selain surat penangkapan Netanyahu, ICC juga mengeluarkan surat penangkapan untuk mantan menteri pertahanan Israel, Yoav Gallant dan Kepala Militer Hamas Mohammed Deif juga masuk ke dalamnya.
Netanyahu menggambarkan keputusan ICC sebagai “hari gelap dalam sejarah bangsa-bangsa”. Ia bahkan sesumbar surat perintah penangkapan tidak akan menghentikan Israel.
“Pengadilan Kriminal Internasional di Den Haag, yang didirikan untuk melindungi kemanusiaan, kini telah menjadi musuh kemanusiaan,” katanya, seraya menambahkan bahwa tuduhan itu sama sekali tidak berdasar, dikutip AFP, Jumat (22/11).
“Tidak ada keputusan anti-Israel yang keterlaluan yang akan mencegah kami- dan itu tidak akan mencegah saya- ntuk terus membela negara kami dengan segala cara,” ujar Netanyahu dalam sebuah pernyataan video.
“Kami tidak akan menyerah pada tekanan,” sumpahnya.
Serangan Israel ke Gaza dimulai sejak Oktober 2023, setelah serangan Hamas yang diklaim Tel Aviv mengakibatkan kematian 1.206 orang. Hamas sendiri berdalih serangan merupakan pembalasan atas penjajahan yang terjadi di Palestina dan serangan ke Masjid Al-Aqsa awal 2023.
Perang Israel di Gaza sendiri telah menyebabkan kematian 44.056 orang wilayah kantong itu. Sebagian besar dari mereka warga sipil, menurut angka dari kementerian kesehatan wilayah yang dikuasai Hamas yang dianggap dapat diandalkan oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB).
Badan-badan PBB sebenarnya telah memperingatkan tentang krisis kemanusiaan yang parah di Gaza. Termasuk kemungkinan kelaparan, karena kurangnya makanan dan obat-obatan.
“Kejahatan fiktif,” ujar Netanyahu lagi membela diri.
“Kejahatan perang yang sebenarnya, kejahatan perang yang mengerikan yang dilakukan terhadap kami dan terhadap banyak orang lain di seluruh dunia,” klaimnya.
Netanyahu juga membandingkan keputusan ICC dengan menyebutnya bak “pengadilan Dreyfus zaman modern”. Ini merujuk pada kasus terkenal abad ke-19 di mana kapten tentara Yahudi Prancis Alfred Dreyfus dihukum secara tidak adil atas pengkhianatan.
“Menolak dengan jijik tindakan dan tuduhan yang tidak masuk akal dan salah yang dibuat terhadapnya,” sesumbarnya lagi.
“Para hakim didorong oleh kebencian anti-Semit terhadap Israel,” tudingnya.
Sementara itu, di dalam negeri Israel sendiri, Presiden Israel Isaac Herzog mengatakan ini “hari gelap keadilan”. Menteri Luar Negeri Gideon Saar mengatakan ICC telah “kehilangan semua legitimasi”.
Di sisi lain, pemimpin oposisi Israel Yair Lapid juga mengkritik surat perintah penangkapan tersebut. Ia menuduh pengadilan tersebut menghadiahi “terorisme”.
Mantan menteri pertahanan Yoav Gallant menyebutnya upaya penangkapan dirinya, preseden berbahaya. Ia tak sudi Israel dan Hamas berada di baris yang sama.
“Keputusan pengadilan di Den Haag akan diingat selamanya — menempatkan Negara Israel dan para pemimpin Hamas yang kejam di baris yang sama,” tulisnya di X.
“Keputusan tersebut merupakan preseden berbahaya terhadap hak untuk membela diri dan perang etis serta mendorong terorisme yang mematikan,” ujarnya.
Meski begitu sejumlah kelompok hak asai manusia di Israel mendukung hal ini. Termasuk komunitas Arab di Israel.
Kelompok hak asasi manusia Israel B’Tselem meminta pemerintah asing untuk menegakkan surat perintah penangkapan terhadap Netanyahu dan Gallant. Menurutnya, ini menandai salah satu titik terendah dalam sejarah Israel.
“Akuntabilitas pribadi bagi para pembuat keputusan merupakan elemen kunci dalam perjuangan untuk keadilan dan kebebasan bagi semua manusia yang tinggal di antara Sungai Yordan dan Laut Mediterania,” kata lembaga itu.
Partai komunis Arab yang dipimpin Israel, Hadash, menyambut baik keputusan pengadilan tersebut. Mereka menyebut Netanyahu dan Gallant melakukan “penghancuran total Gaza” dan “pembunuhan massal”.
AS Menolak
AS sendiri menolak secara fundamental keputusan ICC. Bahkan negara itu mengaku khawatir.
“Kami tetap sangat prihatin dengan kesibukan jaksa penuntut untuk mengajukan surat perintah penangkapan dan kesalahan proses yang meresahkan yang menyebabkan keputusan ini”, kata juru bicara Dewan Keamanan Nasional, dikutip AFP.
“Amerika Serikat telah menegaskan bahwa ICC tidak memiliki yurisdiksi atas masalah ini,” tambah Paman Sam.