Kilang Pertamina Dumai, Hadirkan Perubahan Melalui Program Bedelau Minapolitan
Kilang Pertamina Dumai, Hadirkan Perubahan Melalui Program Bedelau Minapolitan

FirstIndonesiaMagz.id– Keberadaan perusahaan di lingkungan dimana beroperasi harus memberikan dampak yang luas bagi masyarakat. Hal ini juga yang dilakukan oleh Kilang Pertamina Internasional (KPI) melalui unit operasinya Kilang Dumai. Salah satu cerita perubahan di masyarakat dilahirkan Kilang Dumai melalui program terintegrasi Bedelau Minapolitan.

“Program Bedelau Minapolitan lahir dari sebuah evaluasi terhadap potensi dan kondisi yang ada di masyarakat yang berpadu dengan keinginan masyarakat untuk tumbuh mandiri,” ujar Pjs. Corporate Secretary KPI, Milla Suciyani.

Milla menjelaskan program Bedelau Minapolitan terdiri dari beberapa sub program yang terintegrasi dan saling mendukung. Sub program itu diantaranya budidaya ikan air tawar, Green Laundry, Posyandu ibu dan anak, Masyarakat Peduli Pesisir dan Pertanian Sorgum.

“Program-program ini dilaksanakan untuk menjawab tantangan dan potensi alam yang ada di sekitar pesisir pantai yang juga menjadi wilayah operasi Kilang Dumai. Dari program-pogram ini juga lahir lokal hero yang dapat menjadi inspirasi,” kata Milla.

Ramli contohnya. Hampir setengah abad, Ramli bersahabat dengan laut. Ia adalah warga Kelurahan Tanjung Palas, Kecamatan Dumai Timur, Kota Dumai, Provinsi Riau. Wilayah ini berbatasan langsung dengan Selat Malaka, membuat Ramli akrab dengan samudera sejak masih belia.

“Saya sudah melaut sejak usia 12 tahun, berangkat pagi hari jam 7, pulangnya bisa sampai sore hari,” tutur Ramli yang kini berusia 61 tahun.

Serupa dengan Ramli, Risman juga sudah terbiasa mendayung sampan di perairan Dumai. Namun ia baru mengenal gelombang pada 2013, ketika pindah dan menetap di Kelurahan Tanjung Palas.

Ramli dan Risman bukan nelayan biasa. Mereka melaut tidak untuk mencari ikan, melainkan menjual berbagai macam barang kepada awak dan penumpang kapal yang lewat, seperti kebutuhan sehari-hari, bahan makanan, minuman hingga buah-buahan yang dibawa dari daratan.

Warga setempat menyebutnya nelayan ngokang. Ngokang sendiri bukan bahasa asli Dumai. Ini adalah sebutan orang Jepang dahulu kala yang memanggil nelayan bersampan itu dengan sebutan Kokang Na. Lidah orang lokal lantas mengubahnya menjadi ngokang. Menurut Ramli, mayoritas warga Kelurahan Tanjung Palas menekuni pekerjaan ini, bahkan menjadi profesi turun temurun.

Namun, pekerjaan ini sangat berbahaya. Risiko tersapu gelombang atau tertabrak kapal ada di depan mata. Belum lagi cuaca buruk yang mengintai dan bisa muncul kapan saja. Sejak berabad-abad lalu, Selat Malaka menjadi salah satu perairan yang sibuk di Indonesia, bahkan di dunia. Setiap hari ribuan kapal berbobot besar hilir mudik di perairan yang membelah Pulau Sumatera dengan daratan Malaysia itu.

Risiko ini tak sebanding dengan penghasilan yang mereka dapat. Risman mengatakan, pendapatan yang ia peroleh dalam sehari tak menentu, hanya berkisar ratusan ribu rupiah. “Kalau rezeki di laut tidak pasti, apalagi kalau cuaca buruk, barang kita banyak yang tidak laku,” tutur Risman.

Asal usul nama ngokang sekaligus menunjukkan kalau profesi ini sudah lahir sejak puluhan tahun lalu. Dan selama itu pula warga Kelurahan Tanjung Palas bertarung di tengah laut dengan pendapatan yang tidak pasti. Kebanyakan dari mereka tidak punya pilihan, karena rendahnya ekonomi dan pendidikan warga disana. Ramli sendiri mengaku hanya mengenyam pendidikan hingga kelas 5 sekolah dasar.

“Zaman dulu semua serba susah, sekolah juga susah jadi saya dan keluarga tidak punya pilihan,” tutur Ramli.

Untuk menyambung hidup, Ramli dan rekannya Nazaruddin sempat banting setir membudidayakan lele. Namun karena modal dan pengetahuannya terbatas, hasilnya kurang memuaskan, sebagian besar ikannya mati. Ramli hampir putus asa hingga satu hari di tahun 2020 ia bertemu dengan pekerja Kilang Pertamina yang tengah memberi bantuan pada nelayan di sekitar Kilang Dumai.

Pekerja tersebut menyarankan dia membentuk Kelompok Pembudidaya Ikan (Pokdakan) agar bisa mendapatkan bantuan. Ramli dan Nazaruddin langsung merangkul nelayan lainnya dan terbentuklah Pokdakan Palas jaya yang beranggotakan 16 orang. Nazaruddin didapuk menjadi ketua pokdakan dan Ramli sebagai bendaharanya.

Mereka lalu mendaftarkan Pokdakan Palas Jaya ke Dinas Perikanan Kota Dumai pada 2020 dan mengajukan proposal bantuan ke PT Kilang Pertamina Internasional (KPI) Unit Dumai.

Setelah dilakukan evaluasi terhadap proposal tersebut, Kilang Dumai menyetujui proposal tersebut sekaligus menggagas Program Bedelau Minapolitan yang merupakan program Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan atau TJSL KPI. Tujuannya untuk membantu para nelayan ngokang beralih profesi yang lebih aman dan berdaya.

“Kami tergerak karena para nelayan tersebut sudah lama hidup dalam kondisi yang berkekurangan, hingga terpaksa menjalani pekerjaan yang berbahaya. Dengan Program Bedelau Minapolitan, kami berharap bisa membantu mereka keluar dari jeratan ekonomi dan menjadi masyarakat yang mandiri,” ujar Area Manager Communications, Relations & CSR Kilang Dumai, Agustiawan.

Menurut Agustiawan, bantuan yang diberikan KPI pada Pokdakan Palas Jaya dilakukan secara bertahap. Tak hanya berupa peralatan dan bibit, anggota pokdakan juga mendapatkan bantuan pelatihan menernak ikan lele agar hasilnya maksimal.

Ramli masih ingat betul, pertama kali menerima bantuan dari Kilang Dumai, ia dan rekan-rekannya langsung membangun 12 kolam berukuran 2m x 2,5m, di atas lahan kosong di samping rumahnya. Bantuan tersebut juga dibelikan belasan ribu ekor bibit lele, sumur bor, instalasi listrik dan pompa untuk sirkulasi udara di kolam.

Waktu berlalu, usaha budidaya ikan lele yang dijalankan Pokdakan Palas Jaya semakin maju. Jumlah kolam terus bertambah hingga mencapai puluhan. Ramli menuturkan, dalam sekali panen, ikan lele yang dihasilkan bisa mencapai seratus kilogram. Ini otomatis meningkatkan perekonomian anggota Pokdakan Palas Jaya.

“Alhamdulillah, karena bantuan dari Kilang Dumai, anak-anak kami bisa melanjutkan pendidikan, bahkan anak salah satu anggota pokdakan ada yang bisa masuk ke perguruan tinggi,” ungkap Ramli.

Rumput Teki Menyulam Asa di Tanjung Palas

Keberhasilan Ramli dan Pokdakan Palas Jaya sampai ke telinga Risman. Penasaran, Risman lantas menemui salah satu anggota Pokdakan Palas Jaya untuk mencari tahu bagaimana caranya terlibat dalam program TJSL yang dilaksanakan Kilang Dumai. Saat itu Risman disarankan untuk membentuk kelompok.

Ia lalu mengajak 15 orang temannya di Kelurahan Tanjung Palas membentuk Kelompok Barter Jaya. Tidak seperti Ramli, Risman dan rekan-rekannya memilih untuk menjalankan usaba binatu atau laundry dengan konsep ramah lingkungan. Pada 2023, proposal yang diajukan Kelompok Barter Jaya disetujui lalu berdirilah Betuah Laundry yang mengusung konsep Green Laundry pertama di Dumai.

“Green laundry merupakan kelanjutan dari program budidaya ikan lele di Kelurahan Tanjung Palas, sekaligus memperluas penerima manfaat Program Bedelau Minapolitan. Betuah Laundry jadi pelopor binatu ramah lingkungan, dimana KPI juga fokus pada masalah tersebut,” tutur Agustiawan.

Risman menjelaskan, anggota Kelompok Barter Jaya membuat sabun sendiri menggunakan bahan organik, yakni rumput teki. Kemampuan Risman dan kawan-kawan dalam mengubah rumput teki menjadi sabun juga didapat dari pelatihan yang difasilitasi Kilang Dumai.

“Disini rumput teki mudah didapat karena tumbuh liar, rumput tersebut kami keringkan lalu dicampur dengan bahan-bahan pembuat sabun. Dengan membuat sabun sendiri, otomatis biaya produksi kami semakin rendah,” jelas Risman.

Selain sabun dari rumput teki, Betuah Laundry juga memiliki Instalasi Pengolahan Air Limbah (IPAL) sendiri. Menurut Risman, air sisa mencuci pakaian tidak langsung dibuang, melainkan ditampung di dalam tandon. Setelah kotorannya mengendap selama beberapa hari, barulah airnya dibuang. Sementara kotorannya yang berbentuk seperti tanah, diasingkan beberapa waktu lagi hingga aman untuk dibuang.

Konsep unik inilah yang membuat Betuah Laundry mendapatkan banyak pelanggan dari masyarakat sekitar. Laundry ini juga menjadi langganan Kilang Dumai untuk mencuci pakaian seragam pekerjanya. Alhasil, anggota Kelompok Barter Jaya mendapatkan penghasilan tambahan dari Betuah Laundry hingga Rp750 ribu per bulan.

“Kami sangat terbantu dengan Program Bedelau Minapolitan dan kami optimis bisa mengembangkan usaha laundry ini jadi lebih baik di kemudian hari,” tandas Risman.

Puisi Nelayan dari Tanah Mundam

Bergeser ke sebelah tenggara, sekitar 10 kilometer dari Kilang Dumai, Program Bedelau Minapolitan juga menjangkau nelayan yang ada di Kelurahan Mundam, masih di Kecamatan Medang Kampai, Kota Dumai, Provinsi Riau. Warga disana banyak yang berprofesi semabai nelayan tangkap. namun keberuntungan tak berpihak pada mereka.

Salah satu nelayan tangkap di Kelurahan Mundam adalah Sulaiman. Ia bercerita, menjadi nelayan tidak semudah membaca arah angin. Pekerjaan ini semakin hari semakin menantang, bahkan terbilang lebih sulit dibanding dahulu. Ikan di dekat pesisir sudah sulit ditemui, sehingga Sulaiman dan teman-teman nelayan lainnya harus melaut lebih jauh ke tengah laut.

“Kami bisa berlayar sejauh tiga kilometer ke tengah laut, untuk mendapatkan ikan,” ujar Sulaiman.

Sudah berlayar sejauh itupun, ikan yang ditangkap belum tentu banyak, karena minimnya alat tangkap. Kondisi ini kadang diperparah dengan alam yang kadang tidak bersahabat. Jika mendung menggantung, Sulaiman dan nelayan lainnya tak berani melaut. Perahu miliknya berukuran kecil, hanya bisa mengangkut dirinya, jaring dan beberapa peralatan lainnya.

“Kapal kami tak kuat menahan ombak dan angin, jika cuaca buruk kami memilih untuk tidak melaut, penghasilan kami otomatis menurun drastis,” sambung pria berusia 44 tahun ini.

Lagi-lagi, keberhasilan Pokdakan Palas Jaya dalam budidaya ikan lele menjadi inspirasi. Sulaiman membentuk Koperasi Unit Bersama Mundam Jaya bersama 12 rekannya.

Ketika proposal diajukan pada 2023, harapan bapak empat anak ini tak muluk-muluk. Ia hanya mengharapkan bantuan alat tangkap dari KPI, agar ikan yang dibawa pulang bisa semakin banyak. Namun, dari hasil evaluasi Kilang Dumai, terdapat beberapa potensi yang dapat dikembangkan dari kelompok ini. Setelah menjadi bagian dari Program Bedelau Minapolitan, Sulaiman dan rekan-rekannya tak hanya mendapat bantuan alat tangkap yang membuat hasil tangkapannya meningkat.

Mereka juga mendapatkan pengetahuan dan keterampilan dalam budidaya ikan kerapu. Keahlian ini memberikan mereka penghasilan tambahan disamping melaut. Uniknya, Sulaiman dan rekan-rekannya melibatkan para istri mereka untuk ikut mengurusi ikan kerapu.

“Jadi kami bekerjasama dengan istri di rumah. Kalau kami melaut, mereka yang memberi makan ikan kerapu di kolam. Ketika pulang ke rumah, kami yang lanjut mengontrol ikan,” urai Sulaiman.

Budidaya ikan kerapu ini terbilang berhasil memberikan tambahan pendapatan bagi anggota kelompok. Setiap panen dalam 6-8 bulan sekali, hasil penjualan ikan kerapu bisa mencapai Rp27 juta. Setelah dipotong untuk kebutuhan modal dan perawatan kolam, masing-masing anggota bisa mendapat hasil keringat sebesar Rp2 juta.

“Selanjutnya, kami akan coba membudidayakan ikan nilai,” ungkap Sulaiman.

Sementara itu, Agustiawan mengungkapkan, Koperasi Unit Bersama Mundam Jaya tak hanya meningkatkan kesejahteraannya, tapi juga berperan dalam upaya penyelamatan kawasan pesisir dari abrasi. Ia menuturkan, Sulaiman dan rekan-rekannya juga ikut menanam bakau dan memasang alat pemecah ombak Lamcang Kuning sepanjang 86 meter di pesisir Mundam, dengan peningkatan sedimentasi mencapai 773 m2.

“Kami melihat ada perubahan yang signifikan pada masyarakat, khususnya anggota Koperasi Unit Bersama Mundam Jaya. Selain kesejahteraannya meningkat, mereka juga lebih peduli dengan lingkungan, terutama kawasan pesisir. Keberhasilan ini menjadi buah dari program Bedelau Minapolitan,” ungkap Agustiawan.

Karena itulah program TJSL Kilang Dumai ini diganjar oleh sejumlah penghargaan, diantaranya menyabet dua predikat Proper Emas dalam Anugerah Lingkungan Program Penilaian Peringkat Kinerja Perusahaan (PROPER) 2024 yang diselenggarakan oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK).

Selain meningkatkan kesejahteraan masyarakat, Program Bedelau Minapolitan juga memberikan dampak signifikan terhadap lingkungan pesisir Dumai. Melalui penanaman dan nursery mangrove endemik, kini sepanjang 86 meter garis pantai telah terlindungi dari abrasi dengan lebih dari 3.000 batang bibit siap tanam, serta berkontribusi pada penyerapan karbon hingga 53.075 ton eq per tahun. Pembangunan alat pemecah ombak juga terbukti menekan sedimentasi pasca abrasi dan menyerap emisi setara 81.646 kg CO2eq per tahun. Program ini tidak hanya memulihkan ekosistem mangrove, tetapi juga memperkuat ketahanan lingkungan dan keberlanjutan wilayah pesisir.

“Sesuai namanya, Bedelau yang berarti berkilau dalam bahasa Dumai, Program Bedelau Minapolitan menjadi bukti nyata bahwa sinergi antara inovasi sosial dan komitmen lingkungan dapat menciptakan dampak berkelanjutan. KPI tidak hanya mengubah wajah pesisir Dumai, tetapi juga memberi harapan baru bagi masa depan masyarakat sekitar yang lebih hijau, inklusif dan sejahtera,” pungkas Agustiawan.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here