FirstIndonesiaMagz.id– Pemangkasan karyawan yang terjadi di pabrik-pabrik tekstil nasional terus terjadi. Dilaporkan lebih dari 100 ribu buruh menjadi korban pengurangan tenaga kerja oleh pabrik tekstil.
Sekjen Asosiasi Serat dan Benang Filament Indonesia (APSyFI) Redma Gita Wirawasta menjelaskan, pemangkasan pekerja di pabrik tekstil dan produk tekstil (TPT) dapat mencapai 500 ribu orang pada kuartal pertama tahun ini.
Hal tersebut dipicu perlambatan ekspor yang menekan utilisasi pabrik, hingga efek domino gempuran produk impor di dalam negeri.
Redma mengungkapkan, modus pengurangan karyawan tidak langsung dengan PHK dikarenakan, pabrik menghindari pengeluaran biaya besar untuk membayar pesangon.
Pengurangan dilakukan dengan memangkas jam kerja, lalu merumahkan karyawan, atau menggilir karyawan masuk.
“PHK masih terus berlanjut, tapi pemerintah nggak percaya. Awalnya ada yang jam kerja dipangkas, tadinya 6 hari dikurangi jadi 4 hari, mereka di-rolling. Lalu, ada yang dirumahkan, upahnya dibayar 20%. Kemudian terminate (putus/ tidak diperpanjang) kontrak, lalu PHK,” kata Redma dilansir dari cnbcindonesia.com pada (15/12).
“Kalau pemerintah nggak segera antisipasi, sampai kuartal pertama tahun depan, PHK bisa sampai 500 ribu orang,” imbuhnya.
Tak hanya itu, menurut Redma, pabrik-pabrik yang tak lagi sanggup diketahui akan menghentikan operasionalnya.
Pabrik-pabrik tersebut, tak langsung membabat habis karyawannya.
“Sekarang ini sudah ada sekitar 20 perusahaan garmen juga serat yang tutup. Mereka nggak lapor karena nanti akan disuruh bayar pesangon kalau PHK. Ada yang punya karyawan 1.000, disuruh masuk bergantian, ya cuma bersih-bersih pabrik, ngecat,” tambahnya.
“Mereka sambil nunggu angin. Kalau ada sinyal bagus, ada order lagi, jalan lagi. Buruh yang tadinya dirumahkan, kalau belum bekerja, bisa dipanggil lagi. Intinya, ada pengurangan karyawan, ada pabrik tutup, berlanjut sampai sekarang,” katanya.
Ia berharap, pemerintah tidak terkecoh data nilai ekspor. Hal ini dikarenakan pabrik tekstil RI yang hanya jadi penjahit merek global, hal itu tak menunjukkan kondisi sebenarnya.
“Kontrak order itu by volume, bukan nilai. Tadinya, order 1.000 lembar misal US$100 juta. Tapi karena bahan baku naik, demand turun, stoknya dia masih numpuk, dia pangkas order. Karena bahan baku naik dia memang misal bayar US$120 juta, tapi ordernya sudah jauh di bawah 1.000 lembar,” jelasnya.
“Karena bahan baku naik, diteruskan ke harga jual. Itu jadi kelihatan nilai ekspor naik,” tukasnya.
Sebenarnya, pemerintah dapat melihat gelagat pengurangan karyawan di pabrik-pabrik padat karya seperti industri TPT.
Hal tersebut dapat terdeteksi dari pembayaran iuran BPJS dan penggunaan listrik.
“Pemerintah nanti pasti tanya data. Ya silahkan saja cek ke PLN dan BPJS. Kalau kami sesama di industri ini kan langsung ketahuan, yang tadinya beli bahan baku tiba-tiba nggak beli. Nah, pemerintah koordinasi ke BPJS, mana pabrik tiba-tiba nggak setor iuran, mana pabrik yang tiba-tiba konsumsi listriknya anjlok cek ke PLN. Pajak juga bisa dicek,” kata Redma.
Di sisi lain, menurutnya kondisi yang dialami pabrik tekstil nasional juga dialami industri TPT di luar negeri.
Oleh karena itu, dia berharap pemerintah tegas melindungi pasar dalam negeri dari serbuan barang tekstil impor. (DA)
Baca Juga: Binance Dilaporkan akan Akuisisi Tokocrypto