firstindonesiamagz.id – Dalam kurun waktu belakangan ini, ramai diperbincangkan terkait Presiden Republik Indonesia Joko Widodo (Jokowi) yang mengundang Presiden Rusia Vladimir Putin dan Presiden Ukraina Volodymyr Zelensky dalam pertemuan puncak G20 di Bali.
Hal itu dikarenakan, Rusia merupakan salah satu dari anggota G20. Sedangkan Ukraina diundang karena menjadi bagian dari isu pemulihan ekonomi dunia.
Menanggapi hal tersebut, Guru Besar Hukum Internasional Universitas Indonesia (UI), Hikmahanto Juwana menyebutkan bahwa sikap Presiden Jokowi terhadap ketegangan dua negera yang sedang bertikai, Rusia-Ukraina, sangat lah pantas mendapat apresiasi.
“Harapan Presiden yang mengimbau agar perbedaan antar negara bisa diselesaikan secara damai selaras dengan amanat yang termaktub dalam Pasal 2 ayat 3 Piagam PBB,” ujar Hikmahanto, dikutip dari DKatadata.co.id.
Sebagai Presiden G20, Indonesia memiliki diskresi untuk mengundang siapapun, yang dianggap penting bagi pertemuan Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) G20.
Sama halnya dengan tahun lalu, saat Italia mengundang Singapura yang bukan anggota G20 untuk turut hadir.
“Bagi Indonesia kehadiran dari kepala pemerintahan dan kepala negara dalam Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) sangat penting karena pada forum tersebut akan diambil keputusan yang akan mempengaruhi perekonomian dunia dan lingkungan hidup,” jelasnya.
Bukan hanya Hikmahanto saja yang memberi tanggapan terkait hal ini, Guru Besar Hubungan Internasional Universitas Indonesia Evi Fitriani juga turut buka suara dengan menyebut Indonesia memiliki soft power dan kekuatan moral untuk membantu menghentikan perang Rusia – Ukraina.
Tanggapan ini disampaikan di tengah rencana pertemuan Presiden Joko Widodo atau Jokowi dengan Presiden Volodymyr Zelensky di Kyiv dan Presiden Vladimir Putin di Moskow.
“Jadi yang kita tawarkan makna simbolik dari kehadiran (Presiden) itu,” kata Evi, Senin, (27/6/2022).
Sebagaimana yang diperoleh Tempo.co, Negara Indonesia, tutur Evi, mempunyai kekuatan moral mengatasnamakan masyarakat dunia yang sedang berusaha menyadarkan bahwa dunia sedang mengalami kesukaran atas peperangan yang terjadi.
Jokowi pun bisa memberikan pemahaman tersebut kepada kedua pemimpin negara.
Selaras dengan itu, Evi menilai Jokowi pun bisa memanfaatkan ini sebagai tawaran exit strategy kepada Putin. Pasalnya, keberlangsungan perang ini dinilai tergantung pada Rusia yang kini terus menghimpit.
Melalui exit strategy inilah yang menurut Evi dinilai dapat ditawarkan Jokowi dalam kunjungan ke Rusia dan Ukraina. Indonesia sendiri tidak berada di pihak kiri dan kanan, sehingga bisa menjadi kekuatan moral tersendiri untuk membantu menghentikan perang.
“Selama ini strategi Indonesia juga tidak mengecualikan Rusia, dengan tujuan Rusia tetap melihat Indonesia sebagai teman, Ukraina juga lihat kita sebagai teman,” ujarnya.
Persepsi ini disampaikan Evi lantaran Indonesia sendiri tidak memiliki wewenang ataupun kekuatan untuk dapat memaksa Rusia dan Ukraina yang tengah berperang untuk berdamai. Namun, lazimnya negara penengah perang yang mempunyai carrot and stick atau mekanisme hukuman dan hadiah.
Contohnya saja negara Amerika Serikat, yang menurut Evi dapat menekan dengan memberikan bantuan ekonomi agar dua negara tertentu bisa berhenti bertikai.
Adapun kabar kunjungan Jokowi ke Ukraina dan Rusia ini disampaikan oleh media Rusia TASS. Jokowi disebut telah bertemu Putin pada Kamis (30/6). Beberapa hari kemudian, Kementerian Luar Negeri mengkonfirmasi kabar ini bahwa selain ke Rusia, Jokowi diagendakan akan ke Ukraina.
Menteri Luar Negeri Retno Marsudi mengungkapkan misi lawatan Jokowi ke dua negara yang sedang berselisih ini adalah untuk terus mendorong semangat perdamaian.
Dikutip dari Tempo.co, Sebagai presidensi G20 dan anggota Champion Group from Global Crisis Response Group yang dibentuk Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa atau PBB, kata Retno, Jokowi memilih untuk berkontribusi dalam masalah geopolitik ini.
Retno menuturkan, kunjungan presiden menunjukan kepedulian terhadap isu kemanusiaan. Presiden juga akan mencoba memberikan kontribusi menangani isu pangan.
“(Masalah itu) diakibatkan karena perang, dampak dirasakan semua negara terutama negara berkembang dan penghasilan rendah. Dan (presiden akan) terus mendorong spirit perdamaian,” kata Retno dalam jumpa pers virtual Kementerian Luar Negeri Rabu, Rabu, 22 Juni 2022.
Jokowi juga turut membahas dalam Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) G7 Sesi II dengan topik ketahanan pangan dan kesetaraan gender. Ia meminta adanya reintegrasi ekspor gandum Ukraina serta ekspor komododitas pangan dan pupuk Rusia dalam rantai pasok global yang sebelumnya menjadi polemik tersendiri akibat dari perang yang terjadi.
Kepala negara pun meminta dukungan negara G7 untuk mengupayakan hal tersebut.
Menurut Jokowi, dua cara yang bisa dilakukan yakni dengan membantu ekspor gandum Ukraina dapat segera berjalan, selanjutnya melakukan komunikasi secara proaktif kepada publik dunia bahwa pangan dan pupuk dari Rusia tak dikenai sanksi.
“Komunikasi intensif ini perlu sekali dilakukan,” kata Jokowi
Jokowi mengatakan, dengan mengupayakan dua hal tersebut, nantinya tidak terjadi keraguan yang berkepanjangan di publik internasional.
“Komunikasi intensif ini juga perlu dipertebal dengan komunikasi ke pihak-pihak terkait seperti bank, asuransi, perkapalan dan lainnya,” kata Jokowi.
Permintaan ini disampaikan di tengah banyaknya sanksi ekonomi yang dijatuhkan Eropa ke Rusia yang memerangi Ukraina sejak 24 Februari lalu. Komoditas gandum Ukraina termasuk yang terdampak akibat perang yang terus berlangsung ini.
Lebih lanjut, Pakar hubungan internasional dari Universitas Padjadjaran, Teuku Rezasyah, juga melihat masih ada peran yang bisa digunakan Jokowi untuk membantu perdamaian Rusia dan Ukraina. Apalagi, Indonesia tahun ini menjadi tuan rumah Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) G20.
Diketahui KTT G20 bakal diadakan di Bali, November akhir tahun ini, hal itu pun menimbulkan perhatian dari sejumlah masyarakat dunia, pasalnya beberapa pemimpin dunia dikabarkan bakal turut hadir di Indonesia. Kendati demikian, Presiden Putin dipastikan akan hadir meski ada penolakan dari Amerika Serikat.
Seperti yang sudah kita ketahui, Jokowi juga telah resmi mengundang Zelensky ke KTT G20 di Bali. Maka dengan Indonesia menjadi tuan rumah G20, Reza menilai Indonesia memiliki peluang mempertemukan pihak yang bertikai ini di Bali. Reza mencontohkan Singapura dan Vietnam yang sudah mengambil peran menjadi tuan rumah pertemuan eks Presiden Amerika Serikat Donald Trump dan Presiden Korea Utara Kim Jong-un. “Indonesia bisa lakukan itu, di suatu wilayah di Bali,” tukas Reza.