firstindonesiamagz.id – DPR RI telah menyetujui Rancangan Undang-Undang Kesejahteraan Ibu dan Anak (RUU KIA) yang mengatur cuti melahirkan selama 6 bulan, sebelumnya hal itu merupakan usul yang diinsiatifkan DPR.
Adapun keputusan tersebut diambil dalam rapat paripurna ke-26 Masa Persidangan V Tahun Sidang 2021-2022.
Menanggapi hal itu, sebagian besar masyarakat terutama pekerja perempuan khawatir akan dampak yang timbul dibalik kebijakan tersebut.
Kendati demikian, para pakar meyakini RUU KIA dapat membantu semisal berkaitan dengan aturan lainnya.
Ahli Hukum Ketenagakerjaan Unair Dr M Hadi Subhan SH CN MH menyebutkan muncul masalah apabila RUU KIA tidak disinkronisasi.
“Kurang tepat itu maksudnya seolah-olah berdiri sendiri, bukan berarti bahwa RUU KIA bisa mengesampingkan UU Ketenagakerjaan. Kalau berdiri sendiri, perusahaan mengatur regulasi ketenagakerjaan lebih khusus daripada RUU KIA,” tuturnya, Jumat (1/7/2022).
Terlepas dari hal tersebut, jika mengarah dalam UU Ketenagakerjaan, pemerintah juga harus turut serta membantu.
Misalnya saja, 3 bulan penuh dibayar perusahaan, dan 3 bulan kemudian subsidi dari pemerintah dengan catatan, perusahaan tidak bisa memutuskan hubungan kerja (PHK).
“Sebenarnya, ada jaminan kehilangan pekerjaan. Orang yang di-PHK mendapatkan jaminannya 6 bulan diberikan gaji dari negara. Harapannya, kalau ada tambahan cuti melahirkan, negara juga meng-cover. Andaikan dibebankan ke perusahaan, maka menyebabkan beberapa efek, termasuk perusahaan tidak kompetitif, harga produksi mahal, akhirnya import,” urainya, dikutip dari Kumparan.com.
Menurutnya, ayah juga memegang andil besar dalam membantu ibu melalui masa setelah melahirkan secara psikologis, sehingga dapat mengurangi fenomena stunting pada tumbuh kembang anak.
Prof Hadi pun juga menekankan pemerintah tidak boleh lepas tangan, sehingga kekhawatiran mereka pun mereda, lantaran terbatasnya akses pekerja perempuan ini.
Meski begitu, bila penerapan cuti melahirkan RUU KIA tidak dilakukan dengan benar oleh perusahaan, maka akan menjadi tugas pemerintah, yakni Pengawas Ketenagakerjaan untuk menjamin pelaksanaan perundang-undangan ketenagakerjaan sebagaimana mestinya.
Secara konstitusional, pasal 27 berbunyi ‘setiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak berdasarkan kemanusiaan’.
“Memang ada sanksi, tapi secara administratif. Semisal, perusahaan melarang cuti atau memotong hak pekerja, nantinya Pengawas Ketenagakerjaan yang menangani dibawahi Kementerian Ketenagakerjaan,” pungkasnya.